Tabir Kelam Generasi Z: Menyibak Tantangan Kesehatan Mental yang Mengintai

Ninis Milatina

Ninis Milatina

Guru dan Pemerhati Pendidikan

Generasi Z, kelompok yang digadang-gadang sebagai tumpuan masa depan dan penerus Indonesia Emas 2045, menemui tantangan serius terkait kesehatan mental. Data dari Riset Kesehatan Dasar hingga survei I-NAMHS menyoroti kenaikan masalah kesehatan mental di kalangan remaja yang, jika tidak ditangani sejak dini, berpotensi merugikan tidak hanya individu tersebut tetapi juga berdampak sosial dan ekonomi berkepanjangan.

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi rumah tangga dengan anggota yang menderita gangguan jiwa skizofrenia meningkat secara signifikan dalam lima tahun, mencapai 7 permil pada tahun 2018. Begitu pula dengan gangguan mental emosional pada penduduk usia di bawah 15 tahun yang naik dari 6,1 persen pada 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018.

Survei terbaru I-NAMHS pada tahun 2022 memberikan gambaran yang lebih rinci. Dari 46,2 juta remaja berusia 10-19 tahun, sekitar 5,5 persen didiagnosis mengalami gangguan jiwa, dan 34,9 persen mengalami setidaknya satu masalah kesehatan mental. Angka ini menciptakan kerumitan besar yang menuntut perhatian segera.

Menggali lebih dalam, gangguan cemas menonjol sebagai masalah kesehatan mental paling umum di antara remaja, mencapai 26,7 persen. Sementara itu, masalah terkait pemusatan perhatian, depresi, masalah perilaku, dan stres pascatrauma juga menjadi perhatian serius.

Perilaku bunuh diri dan menyakiti diri sendiri menjadi sorotan terkait kesehatan mental. Meskipun proporsinya relatif kecil, kehadiran 1,4 persen remaja yang melaporkan ide bunuh diri, 0,5 persen yang merencanakan, dan 0,2 persen yang mencoba dalam 12 bulan terakhir memberikan peringatan serius.

Namun, fakta yang lebih mengkhawatirkan adalah rendahnya akses remaja terhadap layanan kesehatan mental. Hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental yang mengakses layanan bantuan dan konseling. Ini menciptakan ketidakseimbangan yang memerlukan tindakan nyata untuk meningkatkan kesadaran, akses, dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia.

Keterbatasan fasilitas konseling dan kurangnya pengetahuan tentang tempat mencari bantuan menjadi faktor utama. Terlebih lagi, fakta bahwa sebagian besar orangtua tidak menyadari atau menyangkal masalah kesehatan mental anak-anak mereka menunjukkan adanya stigma yang perlu diatasi.

Tantangan ini tidak hanya bersumber dari aspek kesehatan, tetapi juga terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia di bidang kesehatan mental. Data menunjukkan bahwa jumlah psikiater dan psikolog klinis di Indonesia masih sangat terbatas, dengan sebagian besar berlokasi di Pulau Jawa.

Menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental generasi Z memerlukan upaya bersama dari keluarga, sekolah, dan pemerintah. Langkah-langkah konkrit, seperti peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental, pembangunan fasilitas konseling, dan peningkatan kesadaran di masyarakat, harus menjadi prioritas.

Mengatasi stigma terkait kesehatan mental juga krusial. Orangtua dan pendidik perlu diberdayakan dengan informasi sehingga mereka dapat mendukung remaja yang menghadapi masalah kesehatan mental. Pembangunan kebijakan yang mendorong penempatan psikolog di puskesmas di seluruh wilayah Indonesia juga dapat menjadi langkah nyata.

Masa remaja adalah tahap penting dalam pembentukan individu dan kesehatan mental yang baik sangat menentukan bagi perkembangan positif generasi Z. Perhatian, dukungan, dan akses mudah ke layanan kesehatan mental adalah hak yang harus dijamin untuk memastikan mereka memiliki fondasi yang kuat dalam menghadapi tantangan masa depan.

Ketidakpedulian terhadap masalah kesehatan mental generasi Z tidak hanya berdampak pada mereka sebagai individu, tetapi juga dapat merugikan potensi dan kontribusi mereka terhadap Indonesia Emas 2045. Inisiatif bersama dari seluruh lapisan masyarakat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, memahami, dan merawat kesehatan mental generasi penerus bangsa.

Top Five
Pilihan