Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional AS, baru-baru ini menyoroti penggunaan drone buatan Iran dalam konflik Rusia-Ukraina. Drone yang disebutnya sebagai “drone bunuh diri” atau “shahed/kamikaze” digunakan untuk menyerang warga sipil di Ukraina. Salah satunya adalah Shahed 136 atau yang dikenal sebagai Geran-2 di Rusia, yang dibekali dengan bahan peledak dan diterbangkan ke target, dapat langsung digunakan untuk menyerang lawan.
Sullivan menyampaikan pernyataannya di depan wartawan bulan ini, menyatakan bahwa tindakan Iran dalam “menggunakan senjata mereka untuk membunuh warga sipil di Ukraina… dari perspektif kami, menempatkan Iran sebagai kontributor potensial terhadap kejahatan perang.”
Penggunaan drone oleh Iran dalam mendukung konflik Rusia di Ukraina merupakan tuduhan serius yang diajukan oleh seorang pejabat AS. Beberapa hari sebelum pernyataan Sullivan, AS mengumumkan sanksi baru terhadap Iran terkait penggunaan drone oleh Rusia.
Departemen Keuangan AS dalam siaran pers menyebutkan bahwa “enam pejabat dan anggota dewan dari Industri Penerbangan Qods yang ditunjuk oleh AS,” bersama dengan direktur Organisasi Industri Penerbangan Iran, dikenai sanksi.
Bulan lalu, Uni Eropa memberlakukan sanksi terhadap empat pejabat Iran dan empat entitas yang terkait dengan program pengembangan drone Iran. Sementara itu, Inggris baru-baru ini mengumumkan sanksi terhadap tiga pejabat senior dan satu perusahaan atas penggunaan drone buatan Iran dalam serangan di Ukraina.
Meskipun Iran membantah menyediakan drone kepada Rusia untuk digunakan di Ukraina sejak dimulainya konflik pada bulan Februari lalu, mereka mengklaim bahwa drone yang digunakan saat ini telah dibeli oleh Rusia bertahun-tahun yang lalu. Namun, klaim ini diragukan.
Saat ini, analis Barat sedang menyelidiki sisa-sisa dan puing-puing drone Iran yang ditemukan di Ukraina. Penemuan ini memberikan informasi penting bagi para analis Barat, termasuk adanya suku cadang dari Amerika dan Eropa yang ditemukan pada drone tersebut, meskipun Iran sudah lama dikenai sanksi.
Keberadaan komponen buatan Barat pada drone Iran ini menimbulkan pertanyaan dan keheranan di kalangan negara-negara Barat. Para politisi mendesak untuk menutup celah yang memungkinkan produk-produk Barat masuk ke Iran untuk digunakan sebagai senjata.
Selain aspek finansial, Iran dianggap sangat diuntungkan dari kesepakatan dengan Rusia, terutama dalam sektor pertahanan. Sebelum perang, Rusia memiliki cadangan besar mata uang dan emas, sementara Iran mengalami kesulitan finansial karena sanksi ekonomi yang diterapkan selama bertahun-tahun. Ini membuat Moskow memiliki keuntungan finansial yang diinginkan oleh Teheran, sementara Iran mendapat kebutuhan mereka akan drone yang dibutuhkan oleh Rusia.
Kesepakatan ini memberi Iran lebih dari sekadar keuntungan finansial, termasuk pengadaan puluhan pesawat Su-35 buatan Rusia. Kehadiran puluhan pesawat ini memperkuat kemampuan udara Iran, yang menjadi perhatian utama bagi pembuat kebijakan keamanan di wilayah Teluk.
Menangani ancaman drone dari Iran tidaklah tugas yang mudah. Selama beberapa tahun terakhir, Iran telah menyebabkan kekhawatiran serius dengan kehadiran drone mereka di sebagian besar wilayah Timur Tengah. Kini, ancaman tersebut juga menjangkiti wilayah Eropa Timur. Namun, ada lima langkah yang dapat diambil untuk menghadapi ancaman drone dari Iran ini.
Pertama, AS perlu menghentikan perundingan nuklir secara resmi di Wina. Sulit untuk percaya pada Iran pada saat ini. Kedua, dengan pembuat kebijakan Barat yang memperdalam pemahaman terhadap program dan ekspor drone dari Iran, perlu dilakukan sanksi baru terhadap pejabat Iran. Selain itu, segala celah yang memungkinkan bahan-bahan dari Barat digunakan dalam pembuatan drone Iran perlu ditutup.
Ketiga, tekanan perlu diberikan kepada negara-negara regional agar sulit bagi Iran mengangkut drone mereka ke Rusia. Tidak ada negara mitra AS yang seharusnya membantu dalam pengangkutan atau penerbangan drone Iran. Keempat, AS harus bekerja sama dengan negara-negara Teluk untuk meningkatkan pertahanan udara di wilayah tersebut, sementara juga bekerjasama dengan sekutu Eropa untuk memperkuat pertahanan udara di Ukraina.
Terakhir, perlu adanya lebih banyak koordinasi dan kerja sama di balik layar antara AS, Israel, Ukraina, dan negara-negara Teluk dalam menghadapi ancaman drone dari Iran. Ukraina adalah salah satu negara yang paling berpengalaman dalam melawan drone Iran. Oleh karena itu, bagi negara-negara Teluk dan Israel, penting untuk mempelajari dari pengalaman Ukraina. Hal ini mungkin berarti memberikan lebih banyak dukungan untuk Ukraina secara tidak terlihat.
Ancaman yang ditimbulkan oleh pesawat tak berawak Iran, baik di Timur Tengah maupun di Ukraina, tidak akan segera berakhir. Analis Barat tidak hanya belajar dari penggunaan drone Iran di Ukraina, tetapi juga dari kejadian di Iran. Dengan penggunaan drone yang semakin meluas, Teheran mungkin akan terus meningkatkan kemampuan dan kinerja program drone mereka di medan perang. Pengujian drone Iran di Ukraina harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara Teluk.
Lebih lanjut, eksistensi ancaman teror dari Iran di Ukraina tidak mungkin hanya sebatas pada penggunaan drone. Kekhawatiran yang lebih serius bagi pembuat kebijakan Ukraina adalah kemungkinan masuknya rudal balistik Iran, seperti Fateh-110, ke dalam konflik tersebut. Mengingat stok rudal balistik Rusia yang terus menipis, kemungkinan Iran akan memberikan bantuan rudal ini kepada Moskow sekitar tahun ini.
Dari Laut Baltik hingga Laut Arab, tahun 2023 harus menjadi saat yang serius dalam meningkatkan pertahanan udara dan menghadapi ancaman dari Iran.