Paris – Hubungan diplomatik antara Israel dan Prancis mengalami ketegangan dalam beberapa pekan terakhir. Perdebatan sengit antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Prancis Emmanuel Macron dipicu oleh upaya Prancis bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk mengamankan gencatan senjata 21 hari sebagai langkah awal menuju negosiasi diplomatik jangka panjang.
Prancis dan AS mengira Israel akan mendukung langkah ini, tetapi kedua negara tersebut dikejutkan ketika Israel justru melancarkan serangan yang menewaskan pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, sehari setelah kesepakatan. Netanyahu menolak gencatan senjata sepihak, menuding langkah itu gagal menghentikan Hizbullah untuk memperkuat diri.
Sementara itu, Prancis tetap mendorong solusi diplomatik meski ketegangan meningkat. Pejabat Prancis menyatakan komitmennya terhadap keamanan Israel, mengingat keterlibatan militer Prancis dalam membantu Israel setelah serangan dari Iran pada April lalu.
Insiden yang Memicu Ketegangan Diplomatik
Beberapa insiden baru-baru ini memperburuk hubungan kedua negara. Salah satunya adalah insiden tembak-menembak di Lebanon Selatan antara pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL), yang melibatkan 700 personel Prancis, dan pasukan Israel. Macron mengkritik Israel atas serangan ini, menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap pasukan penjaga perdamaian.
Macron juga menyerukan penghentian penjualan senjata ofensif ke Israel, menyoroti krisis kemanusiaan di Gaza yang mengakibatkan ribuan korban sipil Palestina. Ia mengingatkan bahwa Israel dibentuk melalui keputusan PBB dan menyerukan Netanyahu untuk menghormati piagam tersebut.
Namun, Netanyahu melalui juru bicaranya menanggapi bahwa Israel didirikan melalui perjuangan kemerdekaan, mengacu pada pengorbanan para pejuang yang banyak di antaranya adalah korban Holocaust dari Prancis era Vichy yang berkolaborasi dengan Nazi.
Israel Dilarang Mengikuti Pameran Senjata di Paris
Keputusan Prancis untuk melarang partisipasi perusahaan-perusahaan Israel dalam pameran angkatan laut Euronaval di Paris semakin memperburuk ketegangan. Macron melarang tujuh perusahaan Israel untuk membuka stan atau menampilkan peralatan, menyusul kegelisahan pemerintah atas tindakan Israel di Gaza dan Lebanon.
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menyebut larangan ini sebagai “aib,” menuding Prancis bersikap tidak bersahabat terhadap warga Yahudi. “Ini adalah aib bagi Prancis dan nilai-nilai dunia bebas,” ujar Gallant di platform media sosial X, menambahkan bahwa Israel akan terus membela dirinya dengan atau tanpa dukungan Prancis.
Larangan tersebut memicu ketegangan lebih lanjut, meskipun akhirnya dibatalkan oleh pengadilan Prancis, sehingga Israel diperbolehkan ikut serta dalam pameran.
Penangkapan Pejabat Keamanan Prancis
Pada 7 November, dua pejabat keamanan Prancis dengan status diplomatik ditahan oleh otoritas Israel saat mengunjungi situs bersejarah Prancis di Yerusalem. Insiden ini membuat Prancis marah dan memanggil duta besar Israel. Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, menegaskan bahwa Prancis tidak akan menoleransi intervensi pasukan Israel di area tersebut tanpa izin.
Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan bahwa setiap pemimpin asing yang berkunjung ke Yerusalem selalu didampingi oleh petugas keamanan Israel, sebuah ketentuan yang telah disepakati dengan Kedutaan Besar Prancis di Israel.
Ketegangan diplomatik ini menunjukkan semakin kompleksnya hubungan antara Israel dan Prancis, dengan berbagai isu yang menjadi pemicu dan berpotensi memperburuk situasi jika tidak segera diatasi.