Velocity

Rahmita Egilistiani

Rahmita Egilistiani

Pemerhati Budaya Kontemporer

Di ujung video pendek yang berseliweran di TikTok, sering muncul gerakan lambat dengan ritme yang patah-patah. Sebuah tarikan tangan ke udara, jari-jari membentuk simbol cinta Korea, dan sebuah musik remix mengiringi detak visual yang seakan tertahan di udara. Ia disebut velocity. Nama yang asing, namun kini terasa begitu dekat. Velocity bukan lagi milik ruang kelas fisika atau meja rapat perusahaan teknologi—ia kini menari di layar ponsel anak-anak, remaja, bahkan lansia.

Kata itu, dalam asal-usulnya, adalah terminologi ilmiah: kecepatan. Dalam fisika, velocity punya rumus, punya arah, punya makna yang konkret. Ia terikat pada hukum gerak Newton, pada lintasan planet, pada aliran air. Velocity adalah keseriusan. Tapi di TikTok, velocity menjadi sesuatu yang sebaliknya: gerak melambat, ditunda, dipatahkan. Satu ironi linguistik yang menarik—dan sekaligus pertanda.

Bahasa, seperti juga manusia, tidak pernah betul-betul tetap. Ia bergerak, meleset, menyesuaikan. Ia menyerap makna baru, kadang tanpa permisi. Apa yang dulunya ilmiah kini bisa jadi lelucon. Apa yang dulunya formal, kini bisa menjadi gaya hidup daring. Dan velocity bukan satu-satunya. Banyak kata yang kini hidup ganda: dalam teks, dan dalam tubuh warganet yang menari-nari dengan versi mereka sendiri.

Velocity, dengan segala ketenaran mendadaknya sejak Maret 2025, juga menyimpan cerita kecil tentang bagaimana generasi mengukir zaman. Tak ada satu pun algoritma yang bisa meramalkan bahwa suatu efek patah-patah di akhir video akan jadi tren nasional saat Ramadhan dan Lebaran. Tapi seperti halnya bahasa, internet bergerak tak menentu: dari remaja Gen Z hingga orang tua pra-lansia, semua ikut berjoget dengan versi velocity mereka masing-masing.

Di situlah letak kekuatan budaya digital kita hari ini: dalam kemampuannya mengaburkan batas. Antara muda dan tua. Antara sains dan estetika. Antara kata dan tubuh. Bahkan antara makna dan kekosongan. Kita menyebut velocity—tapi tidak sedang berbicara soal kecepatan. Kita hanya menamainya begitu karena, mungkin, terdengar keren, terdengar teknologis, terdengar global. Tapi maknanya sudah melenceng jauh dari asalnya. Dan tak mengapa.

Karena seperti yang ditulis Wardhaugh lebih dari satu dekade lalu, perubahan makna terjadi saat masyarakat menghendakinya. Velocity tidak lagi dibatasi oleh laboratorium atau ruang akademik. Ia sudah turun ke jalanan digital, menyusup ke ruang-ruang keluarga besar saat buka bersama, menjadi pengikat generasi dalam bentuk tarian singkat dengan filter patah-patah.

Apakah tren ini akan bertahan? Mungkin tidak. Dunia maya tak pernah mengenal kata lama. Tapi velocity telah mencatat dirinya sebagai bagian dari bahasa yang hidup. Bukan sekadar efek visual, tapi juga efek sosial. Sebuah simbol kecil bahwa bahkan sesuatu yang sangat ilmiah pun bisa berubah menjadi permainan—asal ia menyentuh tubuh, ruang, dan waktu.

Velocity mungkin bukan lagi kecepatan. Tapi ia tetap gerak. Dan dalam dunia yang bergerak terlalu cepat, mungkin kita memang butuh sesuatu yang lambat—yang patah-patah—untuk kembali mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang laju, tapi tentang jeda.

Top Five
Pilihan